Minggu, 19 April 2015

Bencana Alam Banjir


Hai guys…udah lama yaa saya nggak posting artikel hehe .Kali ini saya akan memosting tentang Bencana alam banjir mulai dari pengertiannya,faktor-faktor penyebabnya,ciri-cirinya ,dampaknya,dan cara mengantisipasinya.

Kerugian banjir di Jakarta dan sekitarnya pada bulan februari 2007 diperkirakan oleh Bappenas mencapai Rp. 8,8 triliun. Departemen Sosial menyatakan, kerugian harta akibat banjir bandang di Situbondo dan Bondowoso Provinsi Jawa Timur, pada februari 2008 diperkirakan mencapai sekitar Rp. 350 miliar. Walhi memperkirakan total kerugian langsung akibat banjir yang melanda Pulau Sumatera sejak bulan Maret hingga November 2008 mencapai Rp. 500 miliar. Berita-berita terkait banjir dan kerugiannya yang biasanya menghiasi headline surat kabar ketika musim penghujan melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Kerugian akibat bencana banjir biasanya juga menyentuh persoalan interaksi sosial, terhentinya roda perekonomian untuk sementara dan kadang kala bisa berujung pada terenggutnya korban jiwa.
Ada tiga faktor sangat berpengaruh penyebab banjir terjadi. Pertama kerusakan lingkungan, hal ini ditandai peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi (pemanasan global). Para pakar dan ilmuwan lingkungan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat Celcius atau setara dengan 2,0 hingga 11,5 derajat fahrenheit antara tahun 1990 dan 2100. Kondisi bumi yang memanas menyebabkan perubahan iklim semakin tidak stabil. Dampak perubahan iklim bagi Indonesia dapat dirasakan dengan semakin keringnya musim kemarau dan intensitas air hujan yang semakin tinggi di musim penghujan. Naiknya permukaan air laut disebabkan dataran es di kutub mencair serta merta membuat abrasi pantai semakin cepat. Kedua fenomena alam tersebut membuat terbenamnya daratan yang biasanya kering dan dapat ditinggali oleh manusia atau biasa kita kenal dengan istilah banjir.

Faktor kedua adalah sistem pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan semakin berpengaruh terhadap kehadiran bencana banjir, seiring dengan kecenderungan semakin meningkatnya wilayah perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk, terutama di wilayah perkotaan, berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan daya dukung perkotaan. Meluasnya wilayah pemukiman memiliki pengaruh langsung terhadap berkurangnya daerah resapan air, karena hampir seluruh permukaan tanah berganti dengan aspal atau beton. Kondisi tersebut diperparah dengan penataan bangunan dan wilayah yang kurang memperhatikan sistem pembungan air. Kekurang ketersediaan pepohonan yang dapat berfungsi sebagai peresapan air merupakan kombinasi yang semakin sempurna untuk mendatangkan bencana banjir. Hampir sebagian besar kota-kota besar di Indonesia belum memiliki sistem drainase yang terpadu.
Faktor ketiga yang lebih penting dari kedua faktor diatas adalah perilaku manusia. Perbedaan mencolok antara desa dengan kota selain dilihat dari tingkat kepadatannya adalah pola hidup. Orang di desa lebih mampu bersahabat dengan alam sekitarnya sedangkan di kota seringkali tidak menghiraukan aspek lingkungan. Buktinya adalah di kota-kota besar, gedung bertingkat dan jalanan beton menggusur tanah- tanah resapan air, bahkan situ atau danau ditimbun kemudian dibangun mall. Keegoisan manusia telah menyebabkan bencana banjir selalu dekat dengan kehidupan kita.
Industrialisasi juga berawal dari kota, ditandai dengan bangunan pabrik-pabrik penggerak roda ekonomi , sehingga menjadikan kota juga sebagai penghasil polusi. Karena berbagai alasan orang dikota lebih senang mempergunakan kendaraan bermotor sehingga menghasilkan polusi lebih besar lagi. Pada satu titik tertentu, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida (CO2) ke udara jauh melebihi kecepatan dan kemampuan alam untuk menguranginya. Hal tersebut telah berkontribusi kepada perubahan iklim yang semakin tidak bersahabat terhadap manusia.
Tingkah laku manusia yang mengesankan keegoisannya terhadap alam juga dapat dilihat dari persoalan sampah yang berada pada sungai-sungai. Perilaku manusia dalam sistem pembuangan sampah juga memiliki andil dalam kehadiran bencana banjir. Setidaknya Walhi mencatat bahwa pada tahun 2000, kota Jakarta menghasilkan 25.700 m3 sampah per hari. Sehingga volume sampah selama tahun 2000 dapat mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur adalah 55.000 m3). Perilaku membuang sampah sembarangan telah berakibat pada terganggunya sistem pembuangan air dan pada gilirannya ketika musim hujan tiba akan mengakibatkan tergenangnya area di sekitar saluran air yang terhambat tersebut.
Keegoisan tingkah laku manusia lainnya yang berkontribusi terhadap bencana banjir adalah pengrusakan alam secara membabi buta. Atas nama keuntungan pribadi seringkali hutan kita ditebang secara serampangan dan melupakan upaya penanaman kembali. Padahal pohon tersebut memiliki peran sebagai penyerap dan penahan air yang tidak dapat fungsinya digantikan oleh apapun. Selain itu pepohonan juga dapat berfungsi sebagai para-paru alam. Situasi yang cukup mengenaskan adalah adanya fakta tentang penggundulan hutan di sekitar daerah aliran sungai. Jadi sebenarnya penyebab kerusakan di bumi adalah ulah manusia dan yang akan merasakan dampaknya adalah manusia juga.
Sebelum kepunahan ras manusia akibat dari perilaku manusia, terutama terkait dengan persahabatannya dengan alam, maka perlu langkah-langkah sistematis untuk menghadapi ketiga faktor penyebab utama bencana banjir. Persoalan tersulit sepertinya adalah bagaimana merubah tingkah laku manusia supaya dapat menciptakan keharmonian dengan alam. Merubah perilaku manusia secara keseluruhan sebenarnya dapat dimulai dengan mencobanya pada diri kita sendiri. Setelah itu, kita pun harus mulai bisa berperan memberikan penyadaran kepada masyarakat di sekitar kita. Sebagai mahluk sosial, tentunya manusia dapat mengupayakan sesuatu yang lebih besar lagi bagi kehidupan yang lebih baik. Manusia pun mampu untuk merencanakan sebuah sistem pengendalian banjir yang lebih terpadu dan memperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Kita pun dapat berupaya untuk menghasilkan generasi yang ramah terhadap alam.
Untuk menciptakan manusia yang bersahabat dengan alam, pastinya harus melibatkan alam dalam kegiatan belajar mengajar. Ilmu pengetahuan biologi, ekologi, geografi, fisika, kimia dan lain sebagainya dapat memberikan pemahaman kepada murid tentang banjir yang kerap terjadi ketika musim penghujan. Akan tetapi kebanyakan proses belajar hanya sebatas penyampaian informasi seperti di kelas. Padahal menurut penganut behaviourisme, seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Bloom (1956) seperti memperkuat pendapat kaum behaviour melalui taksonomi tujuan pendidikan yang memandang belajar itu harus meliputi tiga aspek yaitu kognitif (intelektual), afektif (emosi) serta psikomotor (perilaku).
Konklusi sederhananya jika manusia belum mampu bersahabat dengan alam lingkungannya bahkan perilakunya merusak dan menyebabkan bencana, dapat saya katakan bahwa proses belajar tesebut telah gagal. Mungkin selama ini metode yang dipergunakan hanya sebatas ceramah dan menghapal rumus semata. Perubahan perilaku hidup yang ramah lingkungan bukan dibuktikan dengan teori maupun rumus semata tetapi dengan tingkah laku. Pendekatan metode pembelajaran dengan mengedepankan ranah afektif dan psikomotor harus lebih diutamakan.
Metode live in adalah cara mengajar dengan memperkenalkan siswa terhadap objek belajar seperti sungai kemudian mencoba mempraktekkan pola hidup yang ramah terhadap lingkungan. Siswa berproses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan pengalaman dengan dibantu oleh seorang guru (tutor). Pengajaran seperti ini mungkin dapat diterapkan pada berbagai kampung wisata atau pun sekolah alam. Penyadaran seperti ini yang akan mengubah perilaku manusia dalam memperlakukan alam dengan bijaksana sehingga bencana banjir dapat direduksi.
Ini beberapa gambar banjir yang sering terjadi di Jakarta

Sumber: http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/1676-banjir-sebagai-proses-penyadaran.html